Kamis, 08 Desember 2011

“Analisis mengenai implikasi dari iklan yang diluncurkan oleh DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim”


Ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh DNPI (Dewan Naional Perubahan Iklim) untuk mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai dampak dan solusi perubahan iklim, salah satunya dengan meluncurkan iklan-iklan di televisi-telavisi, bahkan ada sebuah film yang telah dirilis. Dalam tulisan ini, penulis secara khusus akan menanggapi mengenai film yang telah sukses dirilis oleh DNPI beberapa waktu yang lalu.
Pada 25 Agustus 2011 yang lalu DNPI mengeluarkan pengumuman pelelangan dengan pascakualifikasi, adapun nama paket pekerjaannya yaitu kampanye perubahan iklim nasional, lingkup pekerjaannya adalah pembuatan filem kartun perubahan iklim dan pembuatan iklan promosi perubahan iklim masing – masing berdurasi 45 detik untuk media TV nasional, serta iklan layanan masyarakat untuk media cetak nasional dan. pengembangan dan penayangan paket promosi perubahan iklim di media tv dan media cetak nasional. Jika melihat sekilas pengumuman tersebut rasanya memang tidak ada yang layak untuk ditanggapi, tetapi ternyata anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan ini sebesar Rp. 39.019.860.220 ,- (Tiga puluh sembilan milyar Sembilan belas juta delapan ratus enam puluh ribu dua ratus dua puluh rupiah) dengan sumber Pendanaan dari APBNP Tahun Anggaran 2011 (terlampir). Apakah tidak terlalu besar dana tersebut untuk sekedar membuat film yang setalah beberapa hari akan segera dilupakan keberadaannya. Lebih baik dana tersebut digunakan untuk merealisasikan pidato Presiden pada peringatan HUT ke-66 PGRI yang dilansir detiknews.com (28/11/11) “Anggaran dana pendidikan yang besar itu juga dimanfaatkan untuk perbaikan bagunan dan fasilitas sekolah di daerah yang kondisinya memprihatinkan. Upaya perbaikan telah diperintahkan kepada para Gubernur dan Mendikbud. Semua harus selesai dalam tiga tahun ke depan. Para guru tolong ikut mengawasinya”, itu akan jauh lebih bermanfaat.
Penulis membaca pada media online dunianet.com (30/11/11) “10 Nov 2011 kemarin menjadi momen spesial bagi Dewan Nasional Perubahan Iklim yang meluncurkan secara resmi film “Bumiku” di Blitz Megaplex, Grand Indonesia.  Acara ini dibarengi dengan peluncuran buku panduan untuk siswa dan guru sebagai rangkaian kegiatan kampanye perubahan iklim DNPI. Pembekalan informasi soal perubahan iklim bagi anak muda mutlak dilakukan karena gentingnya situasi.  Hal ini ditegaskan oleh Ketua Harian DNPI, Prof. Ir. Rachmat Witoelar yang menuturkan bahwa para pelajar akan menghadapi masalah besar di kemudian hari, jika mereka tidak berusaha melakukan perubahan saat ini. ‘Anak muda yang ikut memikirkan solusi atas soal ini adalah pahlawan yang sesungguhnya’, Tegasnya”. Penulis malah melihat hal ini sebagai sesuatu yang kurang efektif, DNPI terkesan menghambur-hamburkan dana dengan adanya peluncuran buku dan pembuatan film. Apalagi yang namanya film adalah sesuatu yang fiktif dan bersifat karangan. Mengapa bukan hal-hal nyata yang dilakukan DNPI jika memang perubahan iklim itu mengancam kehidupan daripada hanya sekedar mengingatkan dan mengingatkan. Bukankah anak muda harusnya dituntut untuk belajar, kenapa malah diikutkan dalam hal-hal yang harusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Bukankah para guru mempunyai tugas untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, kenapa malah diberikan bacaan mengenai perubahan iklim. Perubahan iklim memang terjadi, tapi belum ada yang bisa memastikan bahwa akan sangat berbahaya, semuanya masi sebatas issu.
“Dalam film itu ditayangkan bahwa selama di desa, Nada kerap menemukan perilaku orang-orang desa, mulai dari anak-anak hingga dewasa yang kurang memedulikan lingkungan. Kegagalan panen dianggap sebagai petaka biasa. Tapi, sebagian lain sudah mengerti apa yang disebut perubahan iklim. Nada memberi banyak inspirasi untuk Adam mendalang dengan topik perubahan iklim. Salah satunya penggundulan hutan yang membuat paru-paru bumi itu semakin sedikit sehingga menyebabkan pemanasan global”, dikutip dari wartadunia.com (11/11/11). Tidakkah kita melihat sesuatu yang janggal dari kutipan diatas, ternyata masyarakat di pedesaanlah yang sepertinya dipersalahkan atas terjadinya perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global, padahal menurut Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2003), konsumsi energi bahan bakar fosil memakan sebanyak 70% dari total konsumsi energi, sedangkan listrik menempati posisi kedua dengan memakan 10% dari total konsumsi energi. Dari sektor ini, Indonesia mengemisikan gas rumah kaca sebesar 24,84% dari total emisi gas rumah kaca. Kita ketahui bahwa pengguna bahan bakar fosil adalah kendaraan-kendaraan dan pabrik-pabrik yang kebanyakan berada dikota-kota, penggunaan listrik pun palin besar digunakan oleh masyarakat perkotaan dengan kehidupannya yang serba mewah dan instan. Kemudian menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 0,8 kg/hari dan pada tahun 2000 terus meningkat menjadi 1 kg/hari. Dilain pihak jumlah penduduk terus meningkat sehingga, diperkirakan, pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan mencapai 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Dengan jumlah ini maka sampah akan mengemisikan gas metana sebesar 9500 ton/tahun. Dengan demikian, sampah di perkotaan merupakan sektor yang sangat potensial, mempercepat proses terjadinya pemanasan global. Kenyataannya bukanlah masyarakat desa yang tidak peduli lingkungan tetapi masyarakat kota. Yang terakhir Laju kerusakan hutan di Indonesia, menurut data dari Forest Watch Indonesia (2001), sekitar 2,2 juta/tahun. Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan, perubahan tata guna lahan, antara lain perubahan hutan menjadi perkebunan dengan tanaman tunggal secara besar-besaran, misalnya perkebunan kelapa sawit, serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan kerusakan seperti tersebut diatas, tentu saja proses penyerapan karbondioksida tidak dapat optimal.  Hal ini akan mempercepat terjadinya pemanasan global. Jadi bukanlah masyarakat desa yang merusak hutan tapi orang-orang berduit yang memiliki kepentinganlah pelakunya dan mereka tumbuh dan hidup di kota dari hasil kerjanya itu.
Dengan bahasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa pembuatan film oleh DNPI sangat tidak efektif, tidak menggambarkan perubahan iklim secara nyata, bahkan terkesan melimpahkan kesalahan pada pihak yang lain. Dengan kata lain, dana yang dialokasikan untuk merilis film tersebut terbuang percuma, hanya sekedar melambungkan popularitas DNPI di mata masyarakat awam yang tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.


Referensi :




http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global/1582--penyebab-pemanasan-global-pada-bumi.html

0 komentar:

Posting Komentar