Minggu, 30 Oktober 2011

Peraturan Presiden Republik Indonesia no.61 tahun 2011 tanggal 20 September 2011 Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Rencana aksi (Bidang Energi dan Transportasi) :
Penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan


Kegiatan :
Terlaksananya penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan sebanyak 29,33 Million Metric Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) di 3 kota (Palembang, Surabaya, Denpasar) dan penggunaan Liquid Gas for Vehicle (LGV) sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan khusus di Denpasar sebanyak 10,58 ton/hari selama 2 tahun (2013-2014).

Tanggapan :
Kenapa harus mengganti penggunaan bahan bakar fosil dengan penggunaan gas alam ? bapak Djoko Sungkono pada Koran Kompas, Rabu (27/7/2011), menjelaskan, menurut para ahli minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang dikatakan sebagai bahan bakar fosil diperkirakan akan habis 30 tahun lagi, bahan bakar gas habis dalam kurun waktu 70-80 tahun, dan bahan bakar padat 120 tahun lagi. Jika kita perhatikan, ternyata apa pun bentuknya, bahan bakar itu pasti akan habis walaupun dalam kurun waktu yang berbeda. Sangatlah tidak efektif kegiatan penggunaan gas alam ini, mengapa tidak langsung mengadakan kegiatan yang menggunakan bahan bakar padat yang kurun waktu habisnya lebih panjang. Apalagi untuk mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar gas pada kendaraan umum bukan hal mudah, karena harus mengganti perangkat-perangkat kendaraan umum tersebut sehingga dapat menggunakan bahan bakar gas. Ada berapa banyak kendaraan umum di 3 kota ini yang harus direkonstruksi ulang demi pemanfaatan bahan bakar gas dalam waktu 4 taun (2010-1014), pembiayaannya pasti sangat mahal itupun jika perangkatnya sudah ada. Jika pemerintah membebankan pembiayaan penggantian perangkat pada pemilik kendaraan, maka yakin saja akan timbul masalah-masalah social, seperti demonstrasi yang berpotensi pengrusakan fasilitas yang dilakukan oleh pemilik kendaraan umum tersebut, dll.

"Samudera menangguhkan 37.400 miliar ton (GT) karbon, biomassa tanah sekitar 2000-3000 GT, Atmosfer mengandung 720.000.000.000 ton CO2 dan manusia hanya menyumbang 6 GT.. Lautan, tanah dan atmosfer mengalami pertukaran CO2 secara terus menerus sehingga beban tambahan oleh manusia ternyata pergesarannya sangat kecil. Pergeseran kecil di keseimbangan antara lautan dan udara akan menyebabkan kenaikan jauh lebih parah daripada apa pun yang kita bisa hasilkan."(Jeff Id dalam http://www.skepticalscience.com/human-co2-smaller-than-natural-emissions.htm). Artinya, emisi gas CO2 yang ditimbulkan manusia ternyata sangat kecil, pertanyaannya, kenapa pemerintah harus mengadakan semua kegiatan yang bertujuan untuk menurunkan emisi gas tersebut. Sebaiknya pemerintah menggunakan dana yang telah dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan gratis, itu lebih bermanfaat.
Muammar Hakim
H22108278

read more

Minggu, 23 Oktober 2011

Format Penulisan Karya Tulis Ilmiah


read more

The Lost World

Ketika masih kanak-kanak, saya sering sekali mengkhayal setiap kali menonton The Lost World, “Wah, seru sekali kalau punya dinosaurus peliharaan di rumah...”. Tentu saja anggota keluarga saya yang lain tertawa mendengar khayalan saya. “Maklum, anak-anak.”, mungkin begitu pikir mereka. Okelah, mungkin memang masih terlalu jauh untuk berpikir bagaimana cara membangunkan makhluk prasejarah itu. Untuk dinosaurus memang terlalu ekstrim, tapi ternyata cukup menjanjikan untuk banyak makhluk lain!

Beberapa tahun terakhir ini, dunia biologi membuka harapan besar untuk menghidupkan kembali satwa-satwa yang telah punah setelah Teruhiko Wakayama, seorang profesor biologi asal Jepang berhasil membuat kloning dari seekor mencit yang telah beku selama dua dekade. Para ahli genetika dan biologi molekuler pun berusaha untuk melakukan terobosan yang lebih spektakuler lagi, yakni merancang kembali makhluk hidup yang telah punah dari muka bumi! Ya, mulai burung Dodo (Raphus cucullatus) yang punah pada akhir abad ke-17, serigala Tasmania (Thylacinus cynocephalus), Quagga (Equus quagga) yang individu terakhirnya mati di kebun binatang Amsterdam tahun 1883, sampai beberapa subspesies dari harimau yang telah punah (Panthera tigris balicaPanthera tigris sondaica), bukan suatu hal yang mustahil lagi bahwa suatu saat nanti mereka akan kembali menjelajahi muka bumi ini. Para ilmuwan di San Diego, misalnya. Bermodal hanya sedikit jaringan yang diambil dari spesimen awetan banteng Jawa yang telah mati selama beberapa tahun, mereka berhasil mengisolasi DNA banteng Jawa tersebut dan memasukkannya ke sel telur sapi biasa. Hasilnya, dua ekor banteng Jawa dilahirkan dari rahim sapi biasa. Metode yang digunakan untuk hal itu adalah dengan meniru metode yang pertama kali dipakai untuk membuat domba kloning pertama, Dolly, yakni mengganti inti sel telur induk angkat dengan inti sel dari hewan yang hendak “dibangun”.

National Geographic bulan Mei 2009 ini menyajikan berita yang cukup menarik mengenai usaha para ilmuwan untuk membangkitkan kembali mamooth (ex. Mammuthus primigenius), sejenis gajah raksasa berbulu lebat yang pernah menguasai lingkaran kutub utara puluhan ribu tahun silam. Dengan ditemukannya spesimen utuh seekor bayi mamooth di Siberia dua tahun yang lalu, para ilmuwan berhasil memetakan lebih dari 70% genom mamooth yang merinci banyak hal dasar yang amat diperlukan untuk menghidupkan hewan kembali hewan purba itu. “Saya dulu tertawa mendengar Steven Spielberg (sutradara kawakan yang juga menangani pembuatan film The Lost World) berkata bahwa kloning binatang yang sudah punah tak bisa dihindari. Tapi kini saya tak lagi tertawa, setidaknya menyangkut mamooth. Ini bakal terjadi. Tinggal detailnya saja,” ujar Hendrik Poinar, pakar DNA purbakala dari McMaster University.

Dalam kasus membangunkan kembali binatang purba itu, pertama-tama haruslah didapatkan urutan DNA yang lengkap dari hewan punah yang hendak dibuat kembali. Urutan DNA ini amat panjang, bisa jadi terdiri atas milyaran pasangan basa (purin – pirimidin). Selanjutnya, para ilmuwan perlu membuat peta dari genom hewan tersebut. Keseluruhan genom itu kemudian harus diurutkan ulang berkali-kali untuk membuang DNA asing yang bukan berasal dari spesies tersebut. Kemudian, barulah DNA tersebut dikemas dalam benuk kromosom. Setelah memperoleh kromosom yang dapat digunakan, dapatlah dibuat inti sel sintetis yang nantinya (seperti yang diceritakan tadi) akan diselipkan ke sel tanpa inti dari induk angkatnya. Induk angkat tersebut diusahakan berkerabat dekat dengan hewan rancangan tadi, satu genus, atau setidaknya satu famili.

Untuk banyak spesies lain yang berlum terlampau jauh rentang waktu kepunahannya, hal itu jauh lebih mudah. Untuk serigala Tasmania, sejauh ini para ilmuwan telah berhasil membangun ulang sebagian besar dari DNA nya, terutama bagian yang membentuk bangun dasar tubuh. Dalam DNA berpenanda radioaktif yang disuntikkan ke tubuh beberapa hewan percobaan, terlihat bahwa DNA yang mengkode pembentukan tulang dan beberapa organ telah berhasil diisolasi. Karena itu, para ilmuwan terus mencari spesimen yang lebih utuh dan segar dari tiap-tiap hewan punah tersebut untuk membangun perpustakaan gen yang lebih lengkap. Pastilah, bicara soal menghidupkan lagi spesies yang telah punah dewasa ini tidak lagi dianggapscience-fiction belaka.

Percayalah, keberhasilan membangkitkan kembali harimau Jawa, serigala Tasmania, burung Dodo, mamooth, bahkan dinosaurus(?) hanya tinggal menunggu waktu saja. Namun, letak permasalahannya bukanlah di situ, bukan soal teknologinya, tetapi lebih ke soal etis. Ketika kita berhasil mengklon hewan yang telah punah, kita akan mendapatkan hewan yang sebatang kara di kebun binatang, bukan di habitat aslinya yang memang sudah tidak ada. Perlu dipertimbangkan kembali baik dan buruknya membangunkan kembali spesies yang telah punah. Memang, keberhasilan seperti itu akan membawa terobosan yang amat revolusioner di bidang sains, khususnya biologi, akan tetapi secara etis masih banyak sekali yang perlu dipertimbangkan.

Entahlah bagaimana akhirnya nanti. Namun saya pribadi yakin bahwa tak lama lagi akan ada banyak spesies punah yang dapat dibangun kembali, tentunya dengan segala kontroversi yang menyertainya!

Referensi :
National Geographic
How To Build a Dinosaur: Extinction doesn’t have to be forever by Jack Horner, James Gorman

read more