Kamis, 08 Desember 2011

“Analisis mengenai implikasi dari iklan yang diluncurkan oleh DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim”


Ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh DNPI (Dewan Naional Perubahan Iklim) untuk mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai dampak dan solusi perubahan iklim, salah satunya dengan meluncurkan iklan-iklan di televisi-telavisi, bahkan ada sebuah film yang telah dirilis. Dalam tulisan ini, penulis secara khusus akan menanggapi mengenai film yang telah sukses dirilis oleh DNPI beberapa waktu yang lalu.
Pada 25 Agustus 2011 yang lalu DNPI mengeluarkan pengumuman pelelangan dengan pascakualifikasi, adapun nama paket pekerjaannya yaitu kampanye perubahan iklim nasional, lingkup pekerjaannya adalah pembuatan filem kartun perubahan iklim dan pembuatan iklan promosi perubahan iklim masing – masing berdurasi 45 detik untuk media TV nasional, serta iklan layanan masyarakat untuk media cetak nasional dan. pengembangan dan penayangan paket promosi perubahan iklim di media tv dan media cetak nasional. Jika melihat sekilas pengumuman tersebut rasanya memang tidak ada yang layak untuk ditanggapi, tetapi ternyata anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan ini sebesar Rp. 39.019.860.220 ,- (Tiga puluh sembilan milyar Sembilan belas juta delapan ratus enam puluh ribu dua ratus dua puluh rupiah) dengan sumber Pendanaan dari APBNP Tahun Anggaran 2011 (terlampir). Apakah tidak terlalu besar dana tersebut untuk sekedar membuat film yang setalah beberapa hari akan segera dilupakan keberadaannya. Lebih baik dana tersebut digunakan untuk merealisasikan pidato Presiden pada peringatan HUT ke-66 PGRI yang dilansir detiknews.com (28/11/11) “Anggaran dana pendidikan yang besar itu juga dimanfaatkan untuk perbaikan bagunan dan fasilitas sekolah di daerah yang kondisinya memprihatinkan. Upaya perbaikan telah diperintahkan kepada para Gubernur dan Mendikbud. Semua harus selesai dalam tiga tahun ke depan. Para guru tolong ikut mengawasinya”, itu akan jauh lebih bermanfaat.
Penulis membaca pada media online dunianet.com (30/11/11) “10 Nov 2011 kemarin menjadi momen spesial bagi Dewan Nasional Perubahan Iklim yang meluncurkan secara resmi film “Bumiku” di Blitz Megaplex, Grand Indonesia.  Acara ini dibarengi dengan peluncuran buku panduan untuk siswa dan guru sebagai rangkaian kegiatan kampanye perubahan iklim DNPI. Pembekalan informasi soal perubahan iklim bagi anak muda mutlak dilakukan karena gentingnya situasi.  Hal ini ditegaskan oleh Ketua Harian DNPI, Prof. Ir. Rachmat Witoelar yang menuturkan bahwa para pelajar akan menghadapi masalah besar di kemudian hari, jika mereka tidak berusaha melakukan perubahan saat ini. ‘Anak muda yang ikut memikirkan solusi atas soal ini adalah pahlawan yang sesungguhnya’, Tegasnya”. Penulis malah melihat hal ini sebagai sesuatu yang kurang efektif, DNPI terkesan menghambur-hamburkan dana dengan adanya peluncuran buku dan pembuatan film. Apalagi yang namanya film adalah sesuatu yang fiktif dan bersifat karangan. Mengapa bukan hal-hal nyata yang dilakukan DNPI jika memang perubahan iklim itu mengancam kehidupan daripada hanya sekedar mengingatkan dan mengingatkan. Bukankah anak muda harusnya dituntut untuk belajar, kenapa malah diikutkan dalam hal-hal yang harusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Bukankah para guru mempunyai tugas untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, kenapa malah diberikan bacaan mengenai perubahan iklim. Perubahan iklim memang terjadi, tapi belum ada yang bisa memastikan bahwa akan sangat berbahaya, semuanya masi sebatas issu.
“Dalam film itu ditayangkan bahwa selama di desa, Nada kerap menemukan perilaku orang-orang desa, mulai dari anak-anak hingga dewasa yang kurang memedulikan lingkungan. Kegagalan panen dianggap sebagai petaka biasa. Tapi, sebagian lain sudah mengerti apa yang disebut perubahan iklim. Nada memberi banyak inspirasi untuk Adam mendalang dengan topik perubahan iklim. Salah satunya penggundulan hutan yang membuat paru-paru bumi itu semakin sedikit sehingga menyebabkan pemanasan global”, dikutip dari wartadunia.com (11/11/11). Tidakkah kita melihat sesuatu yang janggal dari kutipan diatas, ternyata masyarakat di pedesaanlah yang sepertinya dipersalahkan atas terjadinya perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global, padahal menurut Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2003), konsumsi energi bahan bakar fosil memakan sebanyak 70% dari total konsumsi energi, sedangkan listrik menempati posisi kedua dengan memakan 10% dari total konsumsi energi. Dari sektor ini, Indonesia mengemisikan gas rumah kaca sebesar 24,84% dari total emisi gas rumah kaca. Kita ketahui bahwa pengguna bahan bakar fosil adalah kendaraan-kendaraan dan pabrik-pabrik yang kebanyakan berada dikota-kota, penggunaan listrik pun palin besar digunakan oleh masyarakat perkotaan dengan kehidupannya yang serba mewah dan instan. Kemudian menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 0,8 kg/hari dan pada tahun 2000 terus meningkat menjadi 1 kg/hari. Dilain pihak jumlah penduduk terus meningkat sehingga, diperkirakan, pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan mencapai 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Dengan jumlah ini maka sampah akan mengemisikan gas metana sebesar 9500 ton/tahun. Dengan demikian, sampah di perkotaan merupakan sektor yang sangat potensial, mempercepat proses terjadinya pemanasan global. Kenyataannya bukanlah masyarakat desa yang tidak peduli lingkungan tetapi masyarakat kota. Yang terakhir Laju kerusakan hutan di Indonesia, menurut data dari Forest Watch Indonesia (2001), sekitar 2,2 juta/tahun. Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan, perubahan tata guna lahan, antara lain perubahan hutan menjadi perkebunan dengan tanaman tunggal secara besar-besaran, misalnya perkebunan kelapa sawit, serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan kerusakan seperti tersebut diatas, tentu saja proses penyerapan karbondioksida tidak dapat optimal.  Hal ini akan mempercepat terjadinya pemanasan global. Jadi bukanlah masyarakat desa yang merusak hutan tapi orang-orang berduit yang memiliki kepentinganlah pelakunya dan mereka tumbuh dan hidup di kota dari hasil kerjanya itu.
Dengan bahasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa pembuatan film oleh DNPI sangat tidak efektif, tidak menggambarkan perubahan iklim secara nyata, bahkan terkesan melimpahkan kesalahan pada pihak yang lain. Dengan kata lain, dana yang dialokasikan untuk merilis film tersebut terbuang percuma, hanya sekedar melambungkan popularitas DNPI di mata masyarakat awam yang tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.


Referensi :




http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global/1582--penyebab-pemanasan-global-pada-bumi.html

read more

Minggu, 30 Oktober 2011

Peraturan Presiden Republik Indonesia no.61 tahun 2011 tanggal 20 September 2011 Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Rencana aksi (Bidang Energi dan Transportasi) :
Penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan


Kegiatan :
Terlaksananya penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan sebanyak 29,33 Million Metric Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) di 3 kota (Palembang, Surabaya, Denpasar) dan penggunaan Liquid Gas for Vehicle (LGV) sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan khusus di Denpasar sebanyak 10,58 ton/hari selama 2 tahun (2013-2014).

Tanggapan :
Kenapa harus mengganti penggunaan bahan bakar fosil dengan penggunaan gas alam ? bapak Djoko Sungkono pada Koran Kompas, Rabu (27/7/2011), menjelaskan, menurut para ahli minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang dikatakan sebagai bahan bakar fosil diperkirakan akan habis 30 tahun lagi, bahan bakar gas habis dalam kurun waktu 70-80 tahun, dan bahan bakar padat 120 tahun lagi. Jika kita perhatikan, ternyata apa pun bentuknya, bahan bakar itu pasti akan habis walaupun dalam kurun waktu yang berbeda. Sangatlah tidak efektif kegiatan penggunaan gas alam ini, mengapa tidak langsung mengadakan kegiatan yang menggunakan bahan bakar padat yang kurun waktu habisnya lebih panjang. Apalagi untuk mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar gas pada kendaraan umum bukan hal mudah, karena harus mengganti perangkat-perangkat kendaraan umum tersebut sehingga dapat menggunakan bahan bakar gas. Ada berapa banyak kendaraan umum di 3 kota ini yang harus direkonstruksi ulang demi pemanfaatan bahan bakar gas dalam waktu 4 taun (2010-1014), pembiayaannya pasti sangat mahal itupun jika perangkatnya sudah ada. Jika pemerintah membebankan pembiayaan penggantian perangkat pada pemilik kendaraan, maka yakin saja akan timbul masalah-masalah social, seperti demonstrasi yang berpotensi pengrusakan fasilitas yang dilakukan oleh pemilik kendaraan umum tersebut, dll.

"Samudera menangguhkan 37.400 miliar ton (GT) karbon, biomassa tanah sekitar 2000-3000 GT, Atmosfer mengandung 720.000.000.000 ton CO2 dan manusia hanya menyumbang 6 GT.. Lautan, tanah dan atmosfer mengalami pertukaran CO2 secara terus menerus sehingga beban tambahan oleh manusia ternyata pergesarannya sangat kecil. Pergeseran kecil di keseimbangan antara lautan dan udara akan menyebabkan kenaikan jauh lebih parah daripada apa pun yang kita bisa hasilkan."(Jeff Id dalam http://www.skepticalscience.com/human-co2-smaller-than-natural-emissions.htm). Artinya, emisi gas CO2 yang ditimbulkan manusia ternyata sangat kecil, pertanyaannya, kenapa pemerintah harus mengadakan semua kegiatan yang bertujuan untuk menurunkan emisi gas tersebut. Sebaiknya pemerintah menggunakan dana yang telah dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan gratis, itu lebih bermanfaat.
Muammar Hakim
H22108278

read more

Minggu, 23 Oktober 2011

Format Penulisan Karya Tulis Ilmiah


read more

The Lost World

Ketika masih kanak-kanak, saya sering sekali mengkhayal setiap kali menonton The Lost World, “Wah, seru sekali kalau punya dinosaurus peliharaan di rumah...”. Tentu saja anggota keluarga saya yang lain tertawa mendengar khayalan saya. “Maklum, anak-anak.”, mungkin begitu pikir mereka. Okelah, mungkin memang masih terlalu jauh untuk berpikir bagaimana cara membangunkan makhluk prasejarah itu. Untuk dinosaurus memang terlalu ekstrim, tapi ternyata cukup menjanjikan untuk banyak makhluk lain!

Beberapa tahun terakhir ini, dunia biologi membuka harapan besar untuk menghidupkan kembali satwa-satwa yang telah punah setelah Teruhiko Wakayama, seorang profesor biologi asal Jepang berhasil membuat kloning dari seekor mencit yang telah beku selama dua dekade. Para ahli genetika dan biologi molekuler pun berusaha untuk melakukan terobosan yang lebih spektakuler lagi, yakni merancang kembali makhluk hidup yang telah punah dari muka bumi! Ya, mulai burung Dodo (Raphus cucullatus) yang punah pada akhir abad ke-17, serigala Tasmania (Thylacinus cynocephalus), Quagga (Equus quagga) yang individu terakhirnya mati di kebun binatang Amsterdam tahun 1883, sampai beberapa subspesies dari harimau yang telah punah (Panthera tigris balicaPanthera tigris sondaica), bukan suatu hal yang mustahil lagi bahwa suatu saat nanti mereka akan kembali menjelajahi muka bumi ini. Para ilmuwan di San Diego, misalnya. Bermodal hanya sedikit jaringan yang diambil dari spesimen awetan banteng Jawa yang telah mati selama beberapa tahun, mereka berhasil mengisolasi DNA banteng Jawa tersebut dan memasukkannya ke sel telur sapi biasa. Hasilnya, dua ekor banteng Jawa dilahirkan dari rahim sapi biasa. Metode yang digunakan untuk hal itu adalah dengan meniru metode yang pertama kali dipakai untuk membuat domba kloning pertama, Dolly, yakni mengganti inti sel telur induk angkat dengan inti sel dari hewan yang hendak “dibangun”.

National Geographic bulan Mei 2009 ini menyajikan berita yang cukup menarik mengenai usaha para ilmuwan untuk membangkitkan kembali mamooth (ex. Mammuthus primigenius), sejenis gajah raksasa berbulu lebat yang pernah menguasai lingkaran kutub utara puluhan ribu tahun silam. Dengan ditemukannya spesimen utuh seekor bayi mamooth di Siberia dua tahun yang lalu, para ilmuwan berhasil memetakan lebih dari 70% genom mamooth yang merinci banyak hal dasar yang amat diperlukan untuk menghidupkan hewan kembali hewan purba itu. “Saya dulu tertawa mendengar Steven Spielberg (sutradara kawakan yang juga menangani pembuatan film The Lost World) berkata bahwa kloning binatang yang sudah punah tak bisa dihindari. Tapi kini saya tak lagi tertawa, setidaknya menyangkut mamooth. Ini bakal terjadi. Tinggal detailnya saja,” ujar Hendrik Poinar, pakar DNA purbakala dari McMaster University.

Dalam kasus membangunkan kembali binatang purba itu, pertama-tama haruslah didapatkan urutan DNA yang lengkap dari hewan punah yang hendak dibuat kembali. Urutan DNA ini amat panjang, bisa jadi terdiri atas milyaran pasangan basa (purin – pirimidin). Selanjutnya, para ilmuwan perlu membuat peta dari genom hewan tersebut. Keseluruhan genom itu kemudian harus diurutkan ulang berkali-kali untuk membuang DNA asing yang bukan berasal dari spesies tersebut. Kemudian, barulah DNA tersebut dikemas dalam benuk kromosom. Setelah memperoleh kromosom yang dapat digunakan, dapatlah dibuat inti sel sintetis yang nantinya (seperti yang diceritakan tadi) akan diselipkan ke sel tanpa inti dari induk angkatnya. Induk angkat tersebut diusahakan berkerabat dekat dengan hewan rancangan tadi, satu genus, atau setidaknya satu famili.

Untuk banyak spesies lain yang berlum terlampau jauh rentang waktu kepunahannya, hal itu jauh lebih mudah. Untuk serigala Tasmania, sejauh ini para ilmuwan telah berhasil membangun ulang sebagian besar dari DNA nya, terutama bagian yang membentuk bangun dasar tubuh. Dalam DNA berpenanda radioaktif yang disuntikkan ke tubuh beberapa hewan percobaan, terlihat bahwa DNA yang mengkode pembentukan tulang dan beberapa organ telah berhasil diisolasi. Karena itu, para ilmuwan terus mencari spesimen yang lebih utuh dan segar dari tiap-tiap hewan punah tersebut untuk membangun perpustakaan gen yang lebih lengkap. Pastilah, bicara soal menghidupkan lagi spesies yang telah punah dewasa ini tidak lagi dianggapscience-fiction belaka.

Percayalah, keberhasilan membangkitkan kembali harimau Jawa, serigala Tasmania, burung Dodo, mamooth, bahkan dinosaurus(?) hanya tinggal menunggu waktu saja. Namun, letak permasalahannya bukanlah di situ, bukan soal teknologinya, tetapi lebih ke soal etis. Ketika kita berhasil mengklon hewan yang telah punah, kita akan mendapatkan hewan yang sebatang kara di kebun binatang, bukan di habitat aslinya yang memang sudah tidak ada. Perlu dipertimbangkan kembali baik dan buruknya membangunkan kembali spesies yang telah punah. Memang, keberhasilan seperti itu akan membawa terobosan yang amat revolusioner di bidang sains, khususnya biologi, akan tetapi secara etis masih banyak sekali yang perlu dipertimbangkan.

Entahlah bagaimana akhirnya nanti. Namun saya pribadi yakin bahwa tak lama lagi akan ada banyak spesies punah yang dapat dibangun kembali, tentunya dengan segala kontroversi yang menyertainya!

Referensi :
National Geographic
How To Build a Dinosaur: Extinction doesn’t have to be forever by Jack Horner, James Gorman

read more

Minggu, 18 September 2011

Identifikasi Potensi Terjadinya Tawuran di Kampus Unhas

LATAR BELAKANG
Maraknya aksi bentrokan antar mahasiswa di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, membuat sebagian masyarakat tertentu mencibir peranan kaum pelajar. Betapa tidak, di tengah-tengah keterpurukan bangsa dan meroketnya biaya penididikan. Kini, hampir setiap hari golongan intelek acapkali berbuat ganjil, mulai dari aksi rusuh, tawuran, kekerasan fisik, penjualan narkoba, seks bebas, aborsi sampai tradisi menghilangkan nyawa orang lain. Selogan wajib menempuh pendidikan sembilan tahun hanya selogan semata. Pasalnya, menuntut ilmu tak bisa menciptakan manusia seutuhnya dengan budi pekerti yang arif. Malah mencetak anak didik berwatak barbar. Ironis memang. Tak hanya itu, jargon mahasiswa sebagai agen pengubah sosial, pembaharu, kontroling terhadap kebijakan pemerintah, mendobrak kemapanan dan panutan dalam soal moral ikut punah seiring derasnya arus baku hantam di kalangan kaum pelajar. Seolah-olah melekatnya status mahasiswa tak berbanding lurus dengan kebiasaan tak terpuji saat siswa. Adalah budaya tawuran dan adu fisik dalam menyelesaikan segala persoalan yang sedang dihadapainya.
“Ini sudah menjadi tradisi rutin”, begitu salah satu kutipan disebuah media surat kabar yang meliput terjadinya tawuran di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan. Tawuran kerap berakhir dengan baku lempar batu, senjata tajam, hingga aksi perusakan fasilitas kampus, pastinya akan mengkibatkan kerugian materil yang tidak sedikit. Terlebih lagi, tawuran juga menyebabkan korban luka-luka dan bahkan meninggal, padahal pemicunya tidak jarang hanya hal-hal yang sepele.
Mengapa di Unhas sangat berpotensi untuk terjadi tawuran ?, itulah yang akan kita coba kaji lebih mendalam pada makalah ini.

RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang dapat kami rumuskan dalam pembahasan kali ini adalah :
1.       Apa pemicu terjadinya tawuran di Universitas Hasanuddin, Makassar.
2.       Mengapa di Universitas Hasanuddin, Makassar berpotensi terjadi tawuran.
3.       Bagaimana solusi untuk meminimalisir terjadinya tawuran di Universitas Hasanuddin, Makassar.

TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah :
1.       Untuk mengetahui apa pemicu terjadinya tawuran di Universitas Hasanuddin, Makassar.
2.       Untuk mengetahui mengapa di Universitas Hasanuddin, Makassar berpotensi terjadi tawuran.
3.       Untuk mengetahui bagaimana solusi untuk meminimalisir terjadinya tawuran di Universitas Hasanuddin, Makassar.

METODOLOGI
Pembahasan dalam makalah ini menggunakan metode kepustakaan, semua data yang terangkum di dalamnya diambil dari bahan-bahan bacaan baik dari media cetak maupun media elektronik yang relevan dengan pembahasan dan memiliki keterkaitan satu sama lain. Mengumpulkan data-data dari bahan bacaan tersebut kemudian mencari hubungannya, kemudian merangkum menjadi suatu yang lebih menarik.

DISKUSI
Tawuran, kedengarannya sangat aneh dan agak primitif, tapi itulah yang mereka lakukan, mahasiswa Universtas Hasanuddin (Unhas) yang katanya intelektual muda. Apalagi, sebab-sebab tawuran adalah hal-hal yang mungkin sepele bagi sebagian orang. Masalah ceweklah, masalah saling ejek, hingga masalah ada teman yang dipukul. Masalah seperti itu bisa jadi api besar yang kemudian membakar solidaritas kolektif. Massa kemudian ramai-ramai menyerbu fakultas lain.
Jika ditanya perihal tawuran, banyak mahasiswa Unhas yang berseloroh bahwa tawuran adalah bagian dari kalender akademik sebab, biasanya terjadi setiap bulan September. Pada bulan itu, mahasiswa merasa tertekan dengan tugas-tugas perkuliahan yang menggunung, dengan tuntutan mengerjakan skripsi yang berat. Melalui tawuran, mereka sejenak terbebaskan dari rutinitas tugas itu. Kampus akan segera diliburkan, kemudian mereka bisa istirahat sejenak.
Melalui tawuran, energi besar yang mereka keluarkan akan tersalurkan. Mereka kemudian merasa plong dan terbebaskan. Logikanya sama dengan seorang kawan yang lagi stres, dan sengaja pergi nonton pertandingan PSM di Stadion Mattoanging. Ia bebas teriak, mengumpat, dan memaki-maki. Sepulang nonton pertandingan sepakbola, ia merasa plong dan bebas stres. Logika yang sama juga berlaku dengan mahasiswa yang tawuran. Tertekan oleh tugas perkuliahan, hasrat berorganisasi yang tidak tersalurkan (karena kebijakan dropout yang kian ketat), serta kurangnya aktivitas kemahasiswaan yang diizinkan pihak kampus, menjadi benih-benih yang menyemai suburnya tradisi tawuran. Ini masih diperparah dengan arogansi pengajar yang merasa sok hebat, serta tiadanya katup-katup yang bisa mencairkan hubungan antar fakultas. Semua memperparah tradisi tawuran.
Dendam merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting sehingga seseorang melakukan tawuran yang bermotif dendam. Dendam ini sangat mendominasi terjadinya konflik yang terjadi di Universitas- Universitas Makassar. Dendam adalah salah satu sikap batin seseorang dalam melakukan pembalasan dan apabila keinginan batin tersebut tidak atau belum terpenuhi akan menimbulkan suatu sikap cemas dalam dirinya.
Terjadinya konflik di Universitas Hasanuddin, Makassar yang bermotif dendam disebabkan karena tekanan batin yang sangat mendalam atas perbuatan mahasiswa yang lain atau sikap mahasiswa yang sebelumnya memukuli atau mengejeknya sehingga timbul perasaan sebagai penghinaan yang dilakukan tetapi dilakukan oleh fakultas lain sehingga isu ini dapat dijadikan momen yang tepat untuk melakukan provokasi dengan sesama angkatan dan fakultas sehingga dengan isu ini sangat mudah memicu terjadinya konflik.
Kadang masalah yang tidak diselesaikan meskipun itu terjadi di luar area kampus bahkan bukanlah masalah yang berkaitan dengan kampus tersebut terbawa ke dalam kampus sehingga munculnya hal tersebut sehingga mempermudah memprovakasi mahasiswa untuk berbuat anarkis.
Doktrin senior merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan konflik yang terjadi di Universitas - Universitas Makassar. Apalagi pada momen penjemputan mahasiswa baru (OSPEK) yang digelar setiap praperkuliahan yang diadakan oleh setiap fakultas dan pengurus lembaga. Ospek itu pula yang menjadi ruang-ruang aktulisasi mahasiswa, sehingga terkadang ada senior yang berlebihan dalam melakukan pembinaan pada mahasiswa baru. Hal ini dikarenakan para mahasiswa baru tidak diperlakukan seperti manusia sehingga ketika mereka mau melawan mereka semakin diperlakukan tidak manusiawi jadi jalan satu-satunya bagi mahasiswa baru adalah mereka harus menuruti apa yang diperintahkan oleh seniornya. Hal inilah yang kemudian membentuk perilaku dari para mahasiswa baru yang pada dasarnya adalah orang-orang yang buta pada permasalahan yang terdapat di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Pada Moment Ospek pula mereka diberikan materi-materi yang salah satu materinya adalah melakukan orasi di tengah-tengah teman mahasiswa yang lain, isi orasinya adalah mengecam salah satu fakultas yang menjadi lawan mereka selama ini. Hal itu yang dapat memicu terjadinya konflik karena sejak awal mahasiswa didoktrin oleh seniornya untuk menjadi lawan dari fakultas lain dan ternyata doktrin ini berjalan difakultas lain sehingga menumbuhkan potensi terjadinya konflik antar mahasiswa.
Minuman keras dan segala pengaruh negatifnya telah ada sejak lama, sehingga bukan lagi menjadi hal yang aneh apabila minuman keras yang termasuk dalam jenis yang mengandung bahan memabukkan sebagai salah satu pemicu konflik yang terjadi di Universitas Hasanuddin, Makassar. Orang yang mabuk pada dasarnya tidak dapat mengendalikan diri, keadaan emosional yang tidak stabil sehingga rentan melakukan tindakan mengancam keselamatan dan kerusakan, dalam hal ini gedung-gedung yang ada.
Minuman keras yang berlebihan membawa pengaruh yang negatif atau sikap yang menuju ke arah yang tidak diinginkan setiap orang sehingga pihak civitas akademika diharuskan menemukan sebuah metode sehingga minuman keras tidak masuk di dalam kampus yag dapat merusak citra kampus.
mereka yang memiliki dendam memanggil teman seangkatannya dan junior-juniornya, setelah mereka semua datang dan berkumpul disatu tempat tertentu, mereka kemudian mengumpulkan uang untuk membeli minuman keras dan setelah minum mereka langsung melakukan penyerangan. Hal ini dilakukan untuk menambah keberanian dan menaikan adrenalin mereka.
Satu hal yang juga perlu ditambahkan yakni arogansi ilmu pengetahuan. Mestinya ilmu harus dilihat sebagai proses perjalanan untuk menemukan pengetahuan yang kemudian mengasah kebijakasanaan. Tapi di Unhas, ilmu menjadi terkotak-kotak dan masing-masing merasa lebih hebat. Bukan rahasia lagi kalau di kampus Unhas, mereka yang kuliah di ilmu-ilmu teknik seperti eksak merasa lebih superior ketimbang yang kuliah di ilmu sosial. Kuliah di eksak seolah identik dengan kecerdasan dan kehebatan, semenatra yang kuliah di ilmu-ilmu sosial adalah kelompok yang gagal bersaing. Apalagi, di kampus Unhas, filsafat ilmu tidak menjadi mata kuliah wajib. Pantas saja jika mahasiswa dan para pengajafrnya terkotak-kotak dalam cara berpikir yang sempit dan tiddak melihat relasi antar bidang pengetahuan. Inilah faktanya.
Banyak juga publik yang mengaitkan tawuran itu dengan situasi politik di Sulsel. Pada tahun 1992, gedung laboratorium milik Fakultas Teknik Unhas terbakar. Kata banyak orang, tawuran itu terkait dengan situasi jelang pemilihan Gubernur Sulsel, di mana saat itu Rektor Unhas Prof Basri Hasanuddin menjadi kandidat yang terkuat. Tapi, argumentasi tentang situasi politik ini agak berlebihan. Logika ini sama saja dengan memposisikan mahasiswa hanya sebagai pion yang mudah dikendalikan.  Argumentasi bahwa terjadi banyak masalah di tingkat internal dalam kampus sepertinya lebih masuk akal. Dan tawuran hanyalah satu kanalisasi untuk menyalurkan energi mahasiswa.
Sekadar mengingatkan, perkelahian mahasiswa yang berbuntut pembakaran kampus di Unhas pernah terjadi pada 1992 lalu. Kejadian itu kemudian dikenang sebagai \'Black September\' dari tahun 2003-2005. Pertama, 12 Desember 2003 Bentrokan antar mahasiswa di Kampus Unhas antara Fakultas Teknik (FT) dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Akibatnya, tujuh korban luka. Lima korban di antaranya berasal dari FISIP dan dua lainnya dari Fakultas Teknik. Kedua, 14 Desember 2003 Tujuh mahasiswa dan seorang satuan pengaman (Satpam) luka parah menyusul bentrokan antar mahasiswa di Unhas. Rektorat terpaksa membatalkan pelaksanaan ujian akhir. Sebab, tawuran melibatkan hampir sebagian besar mahasiswa Fakultas Teknik dan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ketiga, 14 April 2004 Tawuran terjadi antara Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Karena tawuran ini, Albertu, Mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur tertikam di punggung sebelah kirinya dan dilarikan ke RS Wahidin Sudirohusodo. Keempat, 16 Desember 2004 Dua kelompok mahasiswa Fakultas Teknik dan FISIP di kampus Unhas Tamalanrea bentrok, sekitar 14.00 Wita. Akibatnya, empat orang mahasiswa dikabarkan mengalami luka ringan akibat terkena lemparan saat terjadi tawuran. Dua di antaranya adalah mahasiswa FISIP dan lainnya adalah mahasiswa Fakultas Teknik. Kelima, 31 Agustus 2005 Terjadi tawuran antar fakultas di Unhas masing-masing FISIP dan Teknik, 31 Agustus 2005 di Pelataran Baruga Unhas. Pelaku penyerangan melakukan pembakaran dan menghanguskan empat ruangan lembaga kemahasiswaan di fakultas tersebut. Dalam aksi tawuran tiga korban dilarikan ke RS Wahidin.
Sejatinya kita harus memahami bahwa perlakuan tak wajar itu hadir karena lunturnya budaya toleran, dan tertutupnya ruang dialog dalam menyelesaikan permasalahan. Menjamurnya bentrokan antar mahasiswa bukan saja dikategorikan sebagai kekerasan dalam pendidikan, tapi sudah termasuk pada kategori premanistik.
Cita-cita mulia pendidikan sebagai upaya memanusiakan manis pun harus rela raib ditelan kepongkahan dan keserakahan kita dalam mendidik anak. Apalagi, sang pendidik memberikan contoh tak layak. Lebih parah lagi, melunturnya budaya dialog tercermin dari seberapa jauh kita bisa menerima perbedaan dalam soal pendapat. Bila ruang-ruang tukar gagasan saja, sudah tak nyaman, bahkan hilang, maka tunggu keseragaman ide akan menjadi buahnya. Alhasil, kebiasaan bogem pula akan terus melekat dalam sanubari kaum terpelajar. Keragaman merupakan sesuatu yang tak bisa kita nafikan. Namun, harus kita junjung lebih tinggi. Pasalnya, kemajemukan pertanda hukum alam. Dengan demikian, kita harus mencoba mengarifi segala kemelut yang menimpa diri kita dengan lapang dada. Apalagi saat berselisih pendapat. Mestinya perbedaan bukan dijadikan sebagai laknat, tapi rahmat. Sederetan rapot merah mahasiswa pun tak akan disandang lagi oleh kaum terpelajar.
Mengatasi tawuran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mustahil pula mengatasi tawuran dengan hanya menyalahkan mahasiswa semata. Ini logika para petinggi kampus yang jelas-jelas keliru. Kita mesti melihat tawuran secara proporsional sehingga penanganannya bisa lebih holistik. Baik mahasiswa, dosen, maupun pejabat kampus harus sama-sama berbesar hati kalau semuanya punya ‘kontribusi’ pada lahirnya tawuran. Jangan hanya menuding mahasiswa saja.
Berbagai cara telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya tawuran, ospek mahasiswa baru yang terkadang menjadi biang pemicu terjadinya tawuran antar fakultas sudah dihentikan dan mencoba metode baru yang sifatnya lebih positip dan menguntungkan yang tentunya melibatkan mahasiswa itu sendiri

SIMPULAN
Ternyata ada beberapa hal yang dapat dijadikan masalah sebagai pemicu maraknya tawuran di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Arogansi Ilmu pengetahuan dipupuk sejak mahasiswa masuk di Universitas. Pemikiran yang sangat sempit telah ditanamkan bahwa ada ilmu pengetahuan yang lebih superior, yang lebih hebat dibandingkan dengan ilmu lainnya. Kuliah di salah satu disiplin ilmu selalu identik dengan kehebatan jika dibandingkan dengan disiplin ilmu lainnya. Mahasiswa baru tidak diajarkan bahwa Ilmu pengetahuan itu sama hebatnya dengan ilmu pengetahuan lainnya, satu sama lainnya berhubungan dan saling mengisi kekosongan jika akan diimplementasikan kepada masyarakat. Inilah salah satu dampak jika mahasiswa tidak dibekali filsafat ilmu saat berkenalan dengan universitas. Akibatnya sejak menjadi mahasiswa baru mereka telah diajarkan jargon-jargon arogansi yang sangat gampang menyala menjadi api yang besar jika bergesekan dengan jargon arogansi lainnya.
Banyak hal lain yang membuat tumbuh suburnya tawuran, seperti tekanan perkuliahan, ruang ativitas organisasi kemahasiswaan yang semakin dibatasi, dan kadang arogansi dan otoriter dari pengajar menjadikan penyebab utama tingkat stress mahasiswa yang kadang diluapkan melalui tawuran (setidaknya masih lebih bagus tawuran daripada bunuh diri). Karakter orang sulawesi yang memang keras, menurunnya budaya siri’ (Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan. Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain), merupakan salah satu katalisator lain jika dilihat dari sisi budaya. Tertutupnya keran komunikasi antara mahasiswa dan pengajar juga salah satu pemicunya, indikasi lain yaitu adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja melakukan tindakan provokasi kepada mahasiswa karena tuntutan politik atau semacamnya.
Kesalahan tidak semuanya ada pada mahasiswanya, namun semua yang ada dalam kampus itu. Para dosen sebenarnya punya andil yang sangat besar bagaimana mengajarkan mereka cara menyelesaikan masalah yang lebih elegan. Sikap otoriter pengajar sudah seharusnya diubah menjadi egaliter. Tanggung jawab ini bukan hanya dibebankan kepada para dosen pembina mahasiswa yang jumlahnya hanya satu orng untuk tiap jurusan yang mahasiswanya ratusan.
Namun, tawuran apapun yang mereka buat tidak akan membuat mereka jadi orang penting. Malah cenderung jadi bermasalah dengan individual development yang akhirnya akan membelokkan karakter mereka. Sehingga menghambat perkembangan interaksi pada lingkungan kerja mereka atau kelompok kerja mereka, apabila mereka mendapat pekerjaan nanti.
Konflik merupakan salah satu fenomena sosial yang tidak dapat dihindari dan selalu ada dalam kehidupan manusia sehingga wajar fenomena konflik tersebut menimbulkan keresahan. Sebab konflik dianggap sebagai gangguan terhadap mahasiswa dan civitas akademika, sehubungan dengan keadaan yang demikian maka tidak ada jalan lain selain bersatunya semua elemen dalam kampus, baik birokrasi maupun mahasiswa dan kepolisian dalam membuat reaksi untuk melakukan upaya antisipasi agar konflik tersebut dapat dieliminir sekecil mungkin.
Usaha penanganan konflik telah ada dan terus dilakukan oleh semua pihak baik kepolisian dan civitas akademika karena setiap orang mendambakan suatu kehidupan atau kondisi aman damai. Adapun upaya antisipasi dari berbagai pihak, antara lain :
1. Upaya Civitas Akademika
Sebagai penanggung jawab atas terciptanya kampus yang kondusif maka pihak rektorat, fakultas, jurusan dan mahasiswa memegang peran yang sangat vital terhadap konflik dan ketertiban kampus. Upayanya mengantisipasi setiap gejala-gejala konflik. Civitas akademika di Universitas - Universitas Makassar melakukan berbagai usaha atau kegiatan yang dituangkan dalam program kerja bidang kemahasiswaan yang mana civitas akademika harus menerima aspirasi dari semua civitas akademika. Setiap aspirasi yang muncul harus terlebih dahulu dikaji secara mendalam. Apakah mewakili kepentingan keseluruhan civitas akadmika secara umum atau hanya sebagian saja atau apakah perlu didahulukan atau dilaksanakan, sehingga pengambil kebijakan harus bersikap representatif, responsif dan bertanggungjawab dalam menentukan kebijakan, maka upaya yang berhubungan dengan mengeliminir konflik antara lain :
  1. Ketegasan pihak rektorat
  2. Mengoptimalkan program-program kemahasiswaan
  3. Melakulan transparansi dalam kebijakan rektorat
  4. Melakukan patroli setiap sekretariat UKM fakultas.
Salah satu kebijakan rektorat yang digagas oleh civitas akademika di Universitas - Universitas Makassar adalah melakukan operasi disetiap setiap sudut kampus di sekretariat setiap fakultas dan UKM selama 24 jam oleh keamanan kampus apabila ditemukan minuman alkohol dan senjata tajam maka langsung ditindaki oleh satpam dan diproses di komisi disiplin tingkat universitas.
2. Peranan Kepolisian
Pihak kepolisian memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga usaha menangani konflik yang ada di Indonesia yang khususnya di kampus Universitas - Universitas Makassar. Dalam hal ini pihak kepolisian dapat melakukan komunikasi dengan satuan keamanan kampus (satpam) atau mahasiswa, Resimen Mahasiswa, pengurus-pengurus lembaga dan birokrasi kampus sehingga ketika timbul gejala-gejala yang mengarah konflik yang berdampak anarkis langsung dapat diredam oleh pihak kepolisian.
Secara tegas fungsi polisi dalam UU No. 2 Tahun 2002 telah dirumuskan secara tegas yakni salah satu fungsi pemerintah negara dibidang pemeliharaan, keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat. Maka secara garis besar fungsi kepolisian dapat digolongkan tiga bagian Fungsi ketertiban, Fungsi perlindungan dan fungsi pemeliharaan dan Negara.
3. Upaya Preventif
Penanggulangan secara preventif merupakan salah upaya yang mempunyai maksud agar usaha yang dilakukan secara astimatis berencana, terpadu, serta terarah jauh sebelum konflik itu terjadi. Tindakan ini sangat penting dan lebih efektif daripada menggunakan cara-cara lain.
Upaya preventif yang dilakukan kepolisian dan civitas akademika dalam rangka mencegah timbulnya konflik antara lain :
a). Mengoptimalkan program-program kemahasiswaan
Mengoptimalkan program-progam kemahasiswaan dengan cara merespon kegiatan-kegiatan mahasiswa yang bersifat positif serta dorongan moril terhadap mahasiswa sehingga menyaluran bakat bagi mahasiswa dapat teraktualisasi dengan baik serta memberikan fasilitas kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan.
b). Mendirikan pos penjagaan dan mendirikan tembok pembatas
Konflik merupakan salah satu fenomenal yang tidak dapat diprediksikan waktu dan tempat kejadiannya. Oleh karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh aparat kepolisian dalam meminimalisir terjadinya kejahatan adalah dengan mendirikan pos-pos penjagaan pada tempat-tempat yang rawan konflik seperti perbatasan Fakultas Teknik dan Fakultas Bahasa dan Seni, dan salah satu kebijakan rektorat yang bersifat preventif membuat tembok pembatas antara Fakultas Teknik dan Fakultas Bahasa dan Seni.
c). Patroli Keamanan Kampus
Patroli keamanan kampus merupakan salah satu aktivitas rutin dan menjadi tulang punggung pelayanan operasional dalam melakukan pencegahan semua konflik maupun timbulnya berbagai gejala yang menyebabkan konflik sebagian tugas keamanan kampus, patroli keamanan kampus dilakukan dengan tujuan selain keamanan, patroli dapat menyerap informasi yang ada dalam kampus sehingga mencerminkan kesiapan keamanan kampus sepanjang waktu dalam rangka menjalankan keamanan dan ketertiban.
4. Upaya Represif
Tindakan yang berupa represif salah satu usaha yang dilakukan oleh kepolisian dan civitas akademika setelah terjadinya tindakan kejahatan yang sasarannya adalah pelaku pemicu konflik, tindakan yang bersifat represif yang dilakukan oleh civitas akademika dan kepolisian menanggulangi tindak kejahatan antara lain :
a) Tindakan yang tegas dari pihak rektorat serta diberinya wewenang pada kepolisian untuk melakukan penangkapan dan penahanan untuk mengungkap konflik yang terjadi sampai tuntas.
b) Melakukan koordinasi kerja sama dengan polisi dan civitas akademika dalam rangka menanggulangi setiap konflik.


DAFTAR PUSTAKA
http://rahman7syamsuddin.blogspot.com/2011_03_01_archive.html






read more

Senin, 10 Januari 2011

Mengenal Hidrogen Peroksida (H2O2)

Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 ditemukan oleh Louis Jacques Thenard di tahun 1818. Senyawa ini merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Bahan baku pembuatan hidrogen peroksida adalah gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2). Teknologi yang banyak digunakan di dalam industri hidrogen peroksida adalah auto oksidasi Anthraquinone.
H2O2 tidak berwarna, berbau khas agak keasaman, dan larut dengan baik dalam air. Dalam kondisi normal (kondisi ambient), hidrogen peroksida sangat stabil dengan laju dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun.
Mayoritas pengunaan hidrogen peroksida adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang intinya menghasilkan oksigen. Pada tahap produksi hidrogen peroksida, bahan stabilizer kimia biasanya ditambahkan dengan maksud untuk menghambat laju dekomposisinya. Termasuk dekomposisi yang terjadi selama produk hidrogen peroksida dalam penyimpanan. Selain menghasilkan oksigen, reaksi dekomposisi hidrogen peroksida juga menghasilkan air (H2O) dan panas. Reaksi dekomposisi eksotermis yang terjadi adalah sebagai berikut:
H2O2 -> H2O + 1/2O2 + 23.45 kcal/mol
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi dekomposisi hidrogen peroksida adalah:
1. Bahan organik tertentu, seperti alkohol dan bensin
2. Katalis, seperti Pd, Fe, Cu, Ni, Cr, Pb, Mn
3. Temperatur, laju reaksi dekomposisi hidrogen peroksida naik sebesar 2.2 x setiap kenaikan 10oC (dalam range temperatur 20-100oC)
4. Permukaan container yang tidak rata (active surface)
5. Padatan yang tersuspensi, seperti partikel debu atau pengotor lainnya
6. Makin tinggi pH (makin basa) laju dekomposisi semakin tinggi
7. Radiasi, terutama radiasi dari sinar dengan panjang gelombang yang pendek
Hidrogen peroksida bisa digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent pada industri pulp, kertas, dan tekstil. Senyawa ini juga biasa dipakai pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen, makanan dan minuman, medis, serta industri elektronika (pembuatan PCB).
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH atau soda api. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi. Kebutuhan industri akan hidrogen peroksida terus meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun saat ini di Indonesia sudah terdapat beberapa pabrik penghasil hidrogen peroksida seperti PT Peroksida Indonesia Pratama, PT Degussa Peroxide Indonesia, dan PT Samator Inti Peroksida, tetapi kebutuhan di dalam negeri masih tetap harus diimpor.
referensi:

read more

Daya Kerja Deterjen

Sebagai bahan pembersih lainnya, deterjen merupakan buah kemajuan teknologi yang memanfaatkan bahan kimia dari hasil samping penyulingan minyak bumi, ditambah dengan bahan kimia lainnya seperti fosfat, silikat, bahan pewarna, dan bahan pewangi. sekitar tahun 1960-an, deterjen generasi awal muncul menggunakan bahan kimia pengaktif permukaan (surfaktan) Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) yang mampu menghasilkan busa. Namun karena sifat ABS yang sulit diurai oleh mikroorganisme di permukaan tanah, akhirnya digantikan dengan senyawa Linier Alkyl Sulfonat (LAS) yang diyakini relatif lebih akrab dengan lingkungan.

Pada banyak negara di dunia penggunaan ABS telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam produk deterjen, antara lain karena harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim/pasta dan busanya melimpah.

Penggunaan sabun sebagai bahan pembersih yang dilarutkan dengan air di wilayah pegunungan atau daerah pemukiman bekas rawa sering tidak menghasilkan busa. Hal itu disebabkan oleh sifat sabun yang tidak akan menghasilkan busa jika dilarutkan dalam air sadah (air yang mengandung logam-logam tertentu atau kapur). Namun penggunaan deterjen dengan air yang bersifat sadah, akan tetap menghasilkan busa yang berlimpah.

Sabun maupun deterjen yang dilarutkan dalam air pada proses pencucian, akan membentuk emulsi bersama kotoran yang akan terbuang saat dibilas. Namun ada pendapat keliru bahwa semakin melimpahnya busa air sabun akan membuat cucian menjadi lebih bersih. Busa dengan luas permukaannya yang besar memang bisa menyerap kotoran debu, tetapi dengan adanya surfaktan, pembersihan sudah dapat dilakukan tanpa perlu adanya busa.

Opini yang sengaja dibentuk bahwa busa yang melimpah menunjukkan daya kerja deterjen adalah menyesatkan. Jadi, proses pencucian tidak bergantung ada atau tidaknya busa atau sedikit dan banyaknya busa yang dihasilkan. Kemampuan daya pembersih deterjen ini dapat ditingkatkan jika cucian dipanaskan karena daya kerja enzim dan pemutih akan efektif. Tetapi, mencuci dengan air panas akan menyebabkan warna pakaian memudar. Jadi untuk pakaian berwarna, sebaiknya jangan menggunakan air hangat/panas.

Pemakaian deterjen juga kerap menimbulkan persoalan baru, terutama bagi pengguna yang memiliki sifat sensitif. Pengguna deterjen dapat mengalami iritasi kulit, kulit gatal-gatal, ataupun kulit menjadi terasa lebih panas usai memakai deterjen.

read more